Peristiwa Maukar, Ketika Istana Presiden
Dihujani Serangan Udara
LETKOL (Pnb) Heru Atmodjo sudah
lama berhenti dari Angkatan Udara. Diberhentikan tepatnya. Tapi dia masih ingat
Daniel Maukar, pilot muda cemerlang yang selalu digadang-gadangnya. “Dia murid
saya, dia orangnya cerdas dan pemberani,” kata Heru kepada Historia, 11
November 2010 lampau.
Karena berani dan termasuk ke
dalam jajaran pilot yang unggul, Dani, demikian panggilan akrabnya, dapat
posisi sebagai pilot tempur. Kesempatan yang jarang diberikan kepada pilot
kecuali mereka yang terpilih dan lolos seleksi ketat. “Maukar salah satu yang
kami anggap bagus. Makanya dia jadi pilot tempur,” kenang Heru.
Heru meninggal 29 Januari 2011.
Sempat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sebelum tiga bulan kemudian
kuburannya digali dan jasadnya dipindahkan ke Bangil, Sidoardjo, Jawa Timur.
Ajal keburu menjemputnya sebelum
menceritakan lebih lanjut sosok Daniel Maukar, pilot tempur yang disebutnya
cerdas dan berani itu. Tapi Dani sendiri menampik disebut cerdas. Pada 2007,
Beny Adrian wartawan majalah Angkasa pernah mewawancarai Dani. “Saya merasa
waktu itu tidak sanggup dan terbang saya kan tidak menonjol, tapi tahu-tahu kok
ditaruh menjadi fighter,” kata Dani kepada Beny.
Dani boleh menampik kalau dia
pilot cerdas. Kenyataanya, dia dipercaya sebagai pilot tempur yang menerbangkan
jet MiG 17, pesawat tempur canggih buatan Soviet untuk ukuran zaman itu.
Pesawat itu pula yang membawanya beraksi menembaki Istana Presiden di Bogor dan
Jakarta dan melambungkan namanya sebagai pilot pemberontak.
Aksi Dani tak berdiri sendiri.
Kisahnya berawal dari kekecewaan beberapa tokoh milter dan sipil di Sumatera
dan Sulawesi terhadap pemerintah pusat. Saat itu mereka merasa diperlakukan
tidak adil akibat perimbangan keuangan yang jomplang. Orientasi politik Sukarno
yang mulai condong ke kiri semakin mematangkan situasi konflik.
Kekecewaan berujung pada gerakan
perlawanan. Di Sulawesi, Kolonel Ventje Sumual mendirikan Dewan Manguni,
bersamaan dengan pendirian Dewan Gajah, Banteng dan Garuda yang dipimpin oleh
Kol. Maludin Simbolon, Kol. Ahmad Husein dan Kol. Dahlan Djambek di wilayah
Sumatera.
Pada Februari 1957, Ventje yang
menjabat panglima teritorium VII itu mengumpulkan sejumlah stafnya untuk
membahas situasi nasional. Pertemuan lanjutan diadakan pada 2 Maret 1957 di
kantor Gubernur Makassar, di mana Ventje menggagas piagam Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta) yang ditandatangani oleh 51 tokoh militer dan sipil di
Sulawesi.
Setahun kemudian, Februari 1958
Permesta menggabungkan diri dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera. Pemberontakan yang disebut Indonesianis Barbara Sillars
Harvey “setengah hati” itu justru tak setengah-setengah ketika menyatakan diri
talak dari pemerintah pusat di Jakarta. Maka genderang perlawanan terhadap
pemerintahan Sukarno pun mulai ditabuh.
Pada hari-hari yang penuh
ketegangan itulah Dani datang dari Mesir, setelah mengikuti pelatihan
menerbangkan jet MiG 17 di negara benua Afrika itu. Dia jadi target
penggalangan. Posisinya potensial untuk direkrut ke dalam operasi Permesta:
anak Minahasa, pilot tempur dan punya akses langsung terhadap aset-aset milik
Angkatan Udara seperti pesawat MiG 17 yang dikendalikannya sendiri.
Dani bukan pilot pertama yang
bekerja untuk Permesta. Pada 18 Mei 1958 disokong CIA, Angkatan Udara
Revolusioner (Aurev) Permesta menyewa Allan Pope, pilot berkebangsaan Amerika
Serikat yang menerbangkan pesawat bomber B26 Invader untuk melawan pemerintah
Indonesia. Tapi Pope ketiban sial. Pesawatnya ditembak jatuh di atas Teluk
Ambon. Pope ditangkap,ditangkap diadili dan dijatuhi hukuman mati. Namun
Presiden Sukarno memberikan grasi kepadanya.
Herman Maukar, kakak Dani yang
tinggal di Bandung adalah orang yang paling getol memengaruhi Dani supaya
bekerja klandestin untuk Dewan Manguni. “Abangnya yang banyak pengaruhi dia.
Terutama dalam soal politik,” kata Beny Adrian kepada Historia. Mulanya Dani
tak bergeming, tapi lama-lama ambrol juga.
Dalam “bergerilya” Herman tak
sendiri. Di atas dia ada Sam Karundeng, pemimpin Manguni yang bekerja bawah
tanah untuk wilayah Bandung – Jakarta. Mereka bahu membahu menggalang kekuatan
anti Sukarno atas nama Permesta.
Kepada Dani, Herman selalu
mengutarakan niatnya untuk melakukan sabotase obyek vital milik pemerintah
republik. Namun berkal-kali Dani meragukan kesuksesan rencana aksi tersebut. Dani
akhirnya menyodorkan dirinya untuk jadi eksekutor serangan terhadap pemerintah
republik. “Saya bilang, kalau kamu tunggu tanda sampai kapan, ya sudah kalau
begitu aku saja yang kasih tanda. Bilang saja saya tembak, suruh tembak apa
sekarang,” kata Dani seperti dikutip dari Angkasa, 10 Juli 2007.
Dani mengaku kemudian mendapat
perintah eksekusi dari Mayor Sutisna. Dalam sebuah pertemuan di Bandung,
Sutisna menentukan sasaran tembak Dani adalah pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdana kusumah. Kontan Dani menampik. Bagi Dani Halim adalah rumahnya.
Akhirnya Sutisna tentukan target lain: Istana Merdeka, tanki bahan bakar di
Tanjung Priok dan Istana Bogor. Usai aksi, Dani harus terbang melarikan diri ke
Singapura.
Tak jelas apakah perintah
penembakan terhadap tiga obyek vital pemerintah itu dihasilkan spontan dalam
pertemuan atau perintah dari struktur tertinggi dalam organisasi Permesta.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, April 2009, Ventje Sumual
mengungkapkan penghancuran tanki bahan bakar Tanjung Priok adalah strategi untuk
melumpuhkan pusat kekuasaan.
“Jakarta adalah titik kunci...
sebetulnya mudah saja untuk menguasai Jakarta. Yang dibutuhkan adalah lapangan
terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok.
Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh,” kata Ventje
kepada Setiyardi dari Tempo.
Dani memenuhi kebutuhan itu. Rabu
pagi, 9 Maret 1960, Dani mendaratkan jet MiG 15 di landasan lapangan terbang
Kemayoran setelah menempuh perjalanan dari Bandung. Menjelang siang dia dapat
giliran menerbangkan jet MiG 17 dalam rangka latihan. Pada pukul 11:45, pilot
dengan call sign “Tiger” itu memasuki ruang kemudi jet MiG 17 bernomor 1112 dan
tak lama kemudian memacu pesawatnya di landasan pacu Kemayoran.
Tugas latihan terbang ke selatan
Jakarta diabaikannya. Dani sudah punya tujuan lain. Dia arahkan pesawatnya ke
tanki bahan bakar di Tanjung Priok. Dari ketinggian 2.800 kaki (853 meter) Dani
menukikkan MiG 17 lalu memberondong tanki bahan bakar hingga meledak. Selesai
dengan misi pertama, Dani melesatkan pesawatnya menuju Istana Merdeka. Dia
datang dari arah selatan, menembak bagian depan istana menyebabkan kaca dan
tembok hancur berantakan. Misi kedua selesai.
Nasib Sukarno mujur. Dia sedang
tak berada di Istana siang itu. Presiden sedang menghadiri sidang di Dewan
Nasional yang gedungnya hanya berjarak 20 meter dari Istana Merdeka. Padahal,
“salah satu peluru yang ditembakkandari udara tersebut, tepat mengenai tempat
di mana Bung Karno sering duduk di kursi pada pagi hari,” kata ajudan Presiden
Sukarno Mangil Martowidjojo dalam memoarnya, Kesaksian Tentang Bung Karno
1945-1967.
Anggota Dewan Nasional yang
sedang sidangpun dibuat heboh oleh suara bising pesawat jet yang terbang
rendah. Begitu menerima laporan dari ajudan bahwa Istana ditembaki pesawat
tempur tak dikenal, Presiden Sukarno segera menenangkan peserta sidang.
“Rustig...rustig...,” kata Sukarno dalam bahasa Belanda, seperti dikutip dari
Merdeka, 10 Maret 1960.
Sementara itu, usai menuntaskan
misinya menembaki Istana Bogor, Dani melarikan dirinya ke arah Garut, bukan ke
Singapura sebagaimana yang diminta oleh Sutisna. Apa daya, bahan bakar pesawat
untuk latihan tak diisi penuh. Tapi selalu ada skenario terburuk. Dani
mendaratkan MiG 17 di persawahan di Leles, Garut yang dikenal sebagai pusat
perjuangan DI/TII. Rencananya Dani akan mencari perlindungan ke DI/TII yang
sama-sama memusuhi Sukarno.Tapi rencana gagal. Pada hari yang sama Dani
ditangkap tentara Divisi Siliwangi. Kemudian dibawa ke Jakarta untuk menjalani
serangkaian pemeriksaan.
Kehebohan segera merebak ke
seantero Angkatan Udara. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, KSAU Laksamana
Suryadarma mengajukan pengunduran diri kepada presiden. Pada Sabtu, 11 Maret
1960, di hadapan 120 penerbang AURI di Istana Merdeka, Presiden Sukarno menolak
pengunduran diri Suryadarma dan memintanya untuk tetap memegang kendali AURI.
Di bawah pimpinan Letkol (Pnb)
Omar Dhani, 120 penerbang itu membacakan pernyataan sikap terhadap aksi Daniel
Maukar. Mereka menyesalkan peristiwa tersebut dan menyatakan tetap patuh kepada
Presiden Sukarno. “Kami menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan
terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat,” kata Omar Dhani seperti
dikutip dari Merdeka, 12 Maret 1960.
Menteri Penerangan Maladi dalam
keterangan persnya pada 14 Maret 1960 mengatakan telah menemukan sejumlah
senjata dan dokumen rencana pembunuhan terhadap kepala negara. Senjata dan
dokumen tersebut ditemukan seminggu sebelum peristiwa dalam sebuah razia di
Kebayoran Lama.
Dani kemudian diadili mulai 20
Juli 1960. Dia dituduh terlibat dalam aksi makar dan percobaan pembunuhan
terhadap Presiden Sukarno. Dani sendiri menolak jika dituduh hendak membunuh
Presiden Sukarno. Namun demikian majelis hakim tetap menjatuhkan hukuman mati
bagi Dani.
Setelah dijatuhi hukuman mati,
Dani menjalani masa tahanan, menanti masa-masa eksekusi. Tapi Laksamana
Suryadarma berbaik hati. Dia getol melobi Presiden Sukarno agar membatalkan
hukuman mati bagi Dani. Presiden bergeming. Pada 22 Juni 1961 Presiden Sukarno
memberikan amnesti kepada seluruh pengikut Permesta yang telah menyatakan
kesetiaan kepada Republik Indonesia. Pada 1964 Presiden Sukarno menganulir
vonis mati bagi Daniel Maukar. Baru pada 1968, setelah Sukarno tak lagi jadi
presiden, Dani bisa menghirup udara bebas di zaman Orde Baru.
Oleh: BONNIE TRIYANA
Historia
Komentar
Posting Komentar
berkomenterlah yang baik dan benar belajar untuk menghargai karya orang lain
.... SIP OKE.....:)